Home » » Rangkuman Pengertian Teori Hukum dari Para Ahli

Rangkuman Pengertian Teori Hukum dari Para Ahli

Assalamualaikum Wr.Wb salam sehat, dan sukses untuk kamu yang masih setia membaca postingan yang bersumber dari blog ini. Lama berselang akhirnya bisa memposting lagi atau setidaknya bisa meninggalkan jejak digital disini. Dan untuk postingan kali ini saya akan mereposting salah satu tugas kuliah saya sebagai bahan referensi untuk saya pribadi maupun untuk kamu yang mungkin saat ini membutuhkan referensi mengenai TEORI HUKUM DARI BERBAGAI AHLI ini. Semoga bermanfaat 


TEORI HUKUM ABAD KE-19
Situasi zaman abad ke-19 ditandai oleh beberapa kecenderungan utama. Pertama, terjadinya revolusi sosial ekonomi, kedua, munculnya penolakan terhadap rasionalisme universal abad sebelumnya yang dianggap cenderung mengabaikan ciri khas suatu masyarakat atau bangsa. Ketiga, hampir bersamaan dengan historisme, muncul pula pemikiran evolusionisme yang berusaha melacak perkembangan kebudayaan manusia dari tradisonal ke modern. Keempat, menguatnya kosmologi positivisme.

1. Teori Karl Marx – Hukum itu Kepentingan Orang Berpunya
Hukum tidak lepas dari ekonomi. Menurut Marx, hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Mengapa peraturan dibidang perburuhan cenderung menggelisahkan buruh?, menurut Marx, karena hukum telah dikuasai oleh kelas pemilik modal. Isu utama dalam hukum, menurut Marx, bukanlah keadilan. anggapan bahwa hukum itu tatanan keadilan, hanyalah omong kosong belaka. Faktanya, hukum melayani kepentingan orang berpunya. Ia tidak lebih dari sarana penguasaan dan piranti para pengeksploitasi yang menggunakannya sesuai kepentingan mereka. Hukum merupakan salah satu unsur ideology kelas, dan kareanya menjadi pemicu konflik. Bahkan merupakan factor yang menyebabkan terjadinya alienasi


2. Teori Savigny – Hukum itu Jiwa Rakyat
Menurut Savigny, terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena itu, “hukum adat” yang tumbuh dan berkembang dalam Rahim volkgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat, ia harus ditemukan. Legislasi hanya penting selama ia memiliki sifat deklaratif terhadap hukum sejati itu.


3. Teori Jhering – Hukum itu Fusi Kepentingan
Menurut Jhering, posisi “saya” dalam dunia bersandar pada tiga proposisi: (1) saya disini untuk saya senditi, (2) dunia ada untuk saya, (3) saya disini untuk dunia tanpa merugikan saya. Semua tatanan hukum, menurut Jhering, mestinya bersandar pada tiga prinsip dasar ini. Tekanan Jhering pada kepentingan sebagai suatu yang menentukan dalam hukum, khususnya kepentingan masyarakat, menghantarkan dia pada interessenjuripruden. Kepentingan masyarakatlah yang menjadi inti hukum.

4. Teori Henry S. Maine – Hukum itu Produk Adaptasi Sosial
Maine dikenal dengan teorinya Movement from Status to Contract. Teori evolusi ini dihasilkan dari studi perbandingan yang dilakukannya pada masyarakat Asia (khususnya Cina dan India) dan masyarakat Eropa. Dari studi tersebut, ia temukan dua tipe masyarakat, yakni: (1). Static Societies (Cina dan India), dan (2) Progressive Socities (Eropa). Dalam masyarakat yang statis, hukum bertugas meneguhkan hubungan-hubungan antar-status. Sebaliknya pada masyarakat yang progresif, hukum berfungsi sebagai media kontrak antar-prestasi.


5. Teori Emile Durkheim – Hukum itu Moral Sosial
Dalam konsep Durkheim, hukum sebagai moral sosial pada hakekatnya adalah ekspresi solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat. Hukum adalah cerminan soladaritas. Tak ada masyarakat dimanapun yang dapat tegak dan eksis secara berterusan tanpa adanya solidaritas itu. Sebagai tiang utama integrasi sosial bergerak dan berubah seirama dengan perkembangan sosial dalam masyarakat.


6. Teori Austin – Hukum itu Tata Hukum
Menurut Austin, tata hukum itu nyata dan berlaku, bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (kontra Comte dan Spencer), bukan pula karena hukum itu bersumber pada jiwa bangsa (kontra von Savigny), bukan pula karena cermin keadilan dan logos (kontra Socrates Cs), tetapi karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari institusi yang berwenang. Justifikasi hukum ada di segi formal-legalistiknya, baik sebagai wujud perintah penguasa (versi Austin) maupun derivasi Grundnorm (versi Kelsen). Logis kiranya, jika bagi aliran ini hal yang penting dalam mempelajari hukum adalah bentuk yuridisnya, bukan mutu isinya. Isi material hukum, merupakan bidang non-yuridisnya yang dipelajari oleh disiplin ilmu lain.

Untuk dapat disebut hukum menurut Austin diperlukan adanya unsur-unsur yaitu: (1) adanya seorang penguasa (souvereighnity), (2) suatu perintah (command), (3) kewajiban untuk menaati (duty), (4) sanksi bagi mereka yang tidak taat (sanction).


7. Teori Ernst Bierling – Hukum itu Ide Umum Aturan Positif
Bierling menggunakan metode induktif-empirik, tata hukum tertentu diambil sebagai sampel, untuk kemudian digali ide-idenya. Ide-ide tersebut lalu dibandingkan dengan ide-ide yang ada dalam tata hukum yang lain (tertentu dengan mempertimbangkan representasi menurut ukuran yang objektif), sehingga didapatilah ide-ide yang relative universal. Letak sifat empiris dari riset ini adalah karena ide-ide itu diambil dari tata hukum yang berlaku.



TEORI HUKUM ABAD KE-20

1. Teori Neo-Kantian – Di Mana Letak Sifat Normatif dari Hukum?
Pemikir Neo-Kantian adalah mencari suatu pengertian transedental tentang hukum, yaitu sifat normatifnya. Dimanakah letak sifat normative (dibaca, mewajibkan) dari hukum itu? Inilah pertanyaan pokok yang hendak dijawab oleh para eksponen Neo-Kantian.


2. Teori Rudolf Stammler – Hukum itu Normatif, Karena Kehendak Yuridis
Menurut Stammler, apa yang dikehendaki manusia dalam kehidupan sosial adalah hidup bersama yang teratur. Untuk menjamin hidup (bersama) yang teratur itu, dibutuhkan “perbuatan”, yakni pengaturan segala hal yang terdapat dalam kehidupan bersama tersebut. Perbuatan mengatur itu, wujudnya adalah hukum. Jadi hukum merupakan materi yang diberi bentuknya oleh tujuan menciptakan hidup bersama yang teratur.


3. Teori Hans Kelsen – Hukum itu Normatif Karena Grundnorm
Menurut Kelsen, sumber pedoman-pedoman objektif adalah grundnorm (norma dasar). Grundnorm menyerupai sebuah pengandaian tentang tantanan yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini negara). Kelsen sendiri tidak menyebut isi dari grundnorm tersebut. Ia hanya katakana, grundnorm merupakan syarat transedental-logis bagi berlakunya seluruh tata hukum. Seluruh tata hukum positif harus berpedoman secara hierarki pada grundnorm. Dengan demikian, secara tidak langsung, Kelsen juga sebenarnya membuat teori tentang tertib yuridis.


4. Teori Gustav Radbruch – Hukum itu Normatif, Karena Nilai Keadilan
Menurut Radbruch, nilai keadilan adalah “materi” yang harus menjadi isi aturan hukum, sedangkan aturan hukum adalah “bentuk” yang harus melindungi nilai keadilan.



TEORI DARI KUBU NEO-POSITIVISME

1. Teori Max Weber – Hukum itu Cermin Rasionalitas dan Otoritas
Weber menggunakan ukuran “tingkat rasionalitas” dan “model kekuasaan” untuk mengkonstruksi teorinya tentang hukum. Dalam ranah “tingkat rasionalitas”, teori Weber berbunyi demikian; “tingkat rasionalitas sebuah masyarakat akan menentukan warna hukum dalam masyarakat itu”.


2. Teori Leon Duguit – Hukum itu Tatanan Karya Sosial
Menurut Duguit, hukum itu lahir dari dua rasa yaitu; (1) rasa keharusan sosial, (2) rasa keadilan. Rasa keharusan sosial, tampil dalam wujud keyakinan akan perlunya pedoman-pedoman bersama yang sesuai dengan kebutuhan “masyarakat karya”. Sedangkan rasa keharusan keadilan, menunjuk pada kepekaan tentang cara membagi beban dan imbalan yang proporsional.


3. Teori Eugen Ehrlich – Hukum itu Aturan Yang Hidup
Menurut Ehrlich, dikatakan “hukum yang hidup”, karena hukum itu bukan sesuatu yang ditambahkan dari luar secara a historis. Ia justru merupakan sesuatu yang eksistensial dalam sejarah hidup suatu masyarakat. Hukum diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. Ehrlich menamakan hukum yang hidup itu sebagai Rechtsnormen (norma-norma hukum).


4. Teori Theodor Geiger – Hukum itu Gejala Sosial
Menurut Geiger, hukum itu bukan terutama, aturan formal dalam wujud undang-undang. Ia merupakan norma yang hidup dalam hati orang-orang. Karena itu, Geiger membedakan dua macam norma. Yang satu adalah “norma yang sebenarnya”. Dan yang lain, ialah “norma yang tidak sebenarnya”. Norma yang sebenarnya menunjuk pada norma-norma yang belum masuk aturan negara. Ia merupakan aturan yang habitual. Sedangkan norma yang tidak sebenarnya adalah normasatz, norma yang sudah dirumuskan dalam suatu perundangan negara.


5. Teori Maurice Hauriou – Hukum itu Proses Penguatan
Teori Hauriou ini berporos pada peran institusi (khususnya negara) untuk meneguhkan niat orang menaati hukum. Menurut Hauriou, dari sudut manusia individu, keinginan untuk menaati aturan itu selalu lemah. Ia akan bertambah kuat jika ada dukungan dari orang lain. Dukungan itu terjamin berkat institusionalisasi hidup bersama dalam lembaga-lembaga yang ada, termasuk negara. Lembaga dalam wujud negara itulah yang pada akhirnya sangat menentukan dalam mengkondisikan orang untuk taat pada hukum.


6. Teori George Gurvitch – Hukum itu Kenyataan Normatif
Menurut Gurvitch, prioritas hukum harus diberikan kepada hukum dari masyarakat yang bukan negara. Seharusnya hukum negara dibatasi oleh hukum masyarakat itu. Kedaulatan itu tidak berasal dari seorang yang berkuasa, atau dari suatu kekuatan politik manapun juga, tetapi kedaulatan itu terkandung dalam hukum sosial masyarakat yang tidak terorganisasi, sebab hukum sosial itu berakar dalam kenyataan normative segala hidup bersama, yakni keadilan yang terwujud dalam realitas empiris.


7. Teori Talcott Parsons – Hukum itu Mekanisme Integrasi
Parsons menempatkan hukum sebagai salah satu sub-sistem dalam sistem sosial yang lebih besar. Di samping hukum, terdapat sub-sub sistem lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbeda-beda. Sub-sistem dimaksud adalah budaya, politik dan ekonomi.


8. Teori Roscoe Pound – Hukum itu Keseimbangan Kepentingan
Menurut Pound, hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep-konsep logis-analitis ataupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang terlampau eksklusif. Sebaliknya hukum itu mesti didaratkan di dunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.



TEORI DARI KUBU REALISME HUKUM

1. Teori Oliver Holmes – Hukum itu Perilaku Hakim
Menurut Holmes, aturan hukum bukanlah poros sebuah keputusan yang berbobot. Aturan tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan yang begitu kompleks. Dan lagi pula, kebenaran yang rill, bukan terletak dalam undang-undang, tapi pada kenyataan hidup. Hukum yang termuat dalam aturan-aturan, hanya suatu generalisasi mengenao dunia ideal. Tapi menurut Holmes, seorang pelaksana hukum (hakim), sesungguhnya mengjadapi gejala-gejala hidup secara realistis.


2. Teori Alf Ross – Hukum itu Rasa Wajib/Takut
Menurut Ross, suatu aturan hukum dirasa mewajibkan karena ada hubungan antara perbuatan yuridis dan sanksinya. Bila saya berbuat sesuai aturan, maka bebas dari sanksi. Sebaliknya, jika berbuat tidak sesuai, maka pasti menerima sanksi. Pengalaman inilah yang membuat orang memandang hukum sebagai wajib. Berlakunya hukum tidak lain dari itu, yakni suatu relasi timbale-balik antara sanksi dengan rasa wajib/rasa takut. Maka keharusan yuridis seluruhnya bersangkut paut dengan realitas sosial.



TEORI DARI KUBU NEO-MARXIS

1. Teori Ralf Dahrendorf – Hukum itu Kepentingan Orang Berkuasa
Menurut Dahrendorf, hukum dikuasai oleh mereka yang memegang atau memiliki kuasa. Struktur sosial, sesungguhnya terkonfigurasi dalam relasi kekuasaan. Di situ, terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dengan mereka yang dikuasai. Dengan kata lain, beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan, sedangkan yang lain tidak. Beberapa orang memiliki kekuasaan, sedang yang lain tidak. Nah, karena yang memproduksi hukum adalah mereka yang ada dalam struktur kekuasaan, tidak mengherankan jika hukum cenderung memihak dan melayani kaum pemegang otoritas itu.


2. Teori Feminist Legal Theory – Hukum itu Kepentingan Kaum Lelaki
Menurut kaum Feminist Legal Theory, hukum merupakan tatanannya kaum adam yang meminggirkan kaum hawa. Factual, hukum dibangun dan dikonstruksi dalam logika laki-laki. Implikasinya, ia memperkokoh hubungan-hubungan sosio-yuridis yang patriartis. Ya, hubungan yang didasarkan pada norma, pengalaman, serta kekuasaan laki-laki, yang mengabaikan pengalaman perempuan. Dengan demikian, sampai derajat tertentu, hukum telah menyumbang kepada penindasan terhadap perempuan.



TEORI DARI KUBU EKSISTENSIALIS

Teori Werner Maihofer – Hukum itu Wujud Eksistensi dan Sosialitas
Teori Maihofer tentang hukum, bertitik-tolak dari kegandaan ontology manusia, yakni sebagai individu eksistensial dan sebagai pribadi warga sosial. Kebebasan manusia sebagai pribadi eksistensial, menghasilkan hukum alam eksistensial. Melalui hukum alam eksistensial, manusia mempunyai hak milik kebendaan, dan hak person dalam hubungan dengan orang lain. Konsekuensinya, peraturan yang dibuat dalam negara bertujuan melindungi dua hak tersebut.



TEORI DARI KUBU ALIRAN HUKUM ALAM ABAD KE-20

1. Teori W.A.M Luypen – Hukum itu Keinsyafan Keadilan
Menurut Luypen, pembentukan hukum perlu dipandu keadilan. keadilan merupakan dasar dan norma kritis dalam hukum. Apa yang disebut tatahukum belum tentu dapat disebut hukum. Sebab bisa terjadi, terdapat tatahukum yang tidak mewajibkan, yakni kalau tatahukum itu tidak menurut norma-norma keadilan. Hanya hukum yang menurut norma-norma keadilan sajalah yang sungguh-sungguh mewajibkan.


2. Teori Francois Geny – Hukum itu Perlu Tafsiran Kontekstual
Menurut Geny, undang-undang tidak pernah sempurna. Sebuah undang-undang tidak pernah mampu sempurna mempresentasikan keutuhan realitas yang ada dalam bentangan kehidupan sosial. Karena itu, sangat tidak logis untuk menarik garis lurus begitu saja antara konsep-konsep umum yang abstrak dalam undang-undang dengan kasus-kasus rill dalam dunia empiris.



TEORI HUKUM DI MASA TRANSISI

1. Teori Nonet- Selznick – Hukum Responsif
Menurut Nonet- Selznick lewat hukum responsive, menempatkan hukum sebagai sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik.


2. Teori Satjipto Rahardjo – Hukum Progresif
Menurut Profesor Satjipto, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka, tetapi juga dipermainkan sebagai “barang dagangan”. Akibatnya hukum terdorong ke jalur lambat dan mengalami kemacetan yang cukup serius, dari sinilah Profesor Satjipto menyuarakan perlunya hukum progresif. Pemikiran perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum, ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut ideologi hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat.

 

Demikian rangkuman dari berbagai sumber yang saya reposting kembali di Blog ini yang merupakan Tugas Kuliah saya, yang bisajadi juga sedang anda butuhkan dalam menambah referensi tentang TEORI HUKUM 


 sumber:

1. google 
2. https://projustice.id/kumpulan-teori-hukum-menurut-para-ahli/ 
3. https://www.gramedia.com/literasi/teori-hukum-menurut-para-ahli/

0 komentar:

Posting Komentar

Donasi Kepada Penulis